Ketua PP IPM dan Sandal Jepit
Cerita ini aku mulai dengan sedikit menjelaskan dinamika dalam organisasi yang aku geluti 7 tahun terakhir, IPM. Di IPM, menjadi jajaran Ketua Bidang tingkat pusat jadi gengsi tersendiri. Untuk jadi Kabid, setidaknya harus ber-IPM selama lima tahun dengan proses perkaderan & regenerasi yang panjang. Terkadang juga diwarnai dinamika yang cukup rumit dan keras.
Dan inilah aku, Ketua PP IPM Bidang Perkaderan yang menjadi formatur di Muktamar—dengan kata lain ada di pusaran inti dinamika organisasi. Karenanya, tentu sebagian orang menganggap Naban bukanlah orang sembarangan di IPM. Maka, aku rasa perlu menulis catatan soal penampilan ini.
Jujur, aku adalah sosok yang sangat bodoamat soal penampilan. Saking bodoamat-nya, sampai-sampai sempat beberapa kali ditegur Ibuku.
"Mbok ya sisiran yang rapi, pake baju yang rapi, wangi," kata Ibu.
Biasanya aku timpali dengan ujaran santai sambil cengengesan, "Malas, Bu, biar gini aja, biar ngga banyak yang naksir."
Soal penampilan memang sebenarnya penting. Apalagi untuk menunjang gengsi yang sudah aku sebutkan di awal. Tapi, aku justru sangat bodoamat soal itu. Sandal jepit adalah salah satu contoh nyata.
Seorang Naban adalah sosok yang sangat hobi memakai sendal jepit ke mana-mana. Ke cafe pakai sandal jepit, ke sekretariat pakai sandal jepit, belanja pakai sandal jepit, sesekali ke bioskop pun pakai sandal jepit. Apalagi kalau kondisi sedang musim hujan, menuju dan sepulang dari kampus pun aku pakai sandal jepit!
Lebih ekstrem lagi, aku sering pergi-pergi dengan hanya berbekal kaos + celana training + sandal jepit. Sangat gembel dan melampaui culun untuk ukuran anak muda seusiaku, baik yang aktivis maupun yang hits.
Tapi..... sandal jepit yang praktis, ringan, memberi ruang untuk kaki "bernapas" cocok banget dengan aku yang emang ngga mau ribet. Apalagi saat musim hujan, seringkali aku dalam hati mengutuk-ngutuk kampus dan semua agenda formal yang mewajibkan sepatu.
Karena ngga mungkin sepatu bisa lolos dari kebasahan yang pasti merepotkan. Dengan demikian sandal jepit adalah pilihan logis untuk wilayah dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia.
Ngga tahu diri banget, ya, aku? Hahaha
Tapi ya kembali lagi ke awal. Karena aku ngga hidup di ruang hampa, mau ngga mau aku menghargai setiap forum sebaik mungkin, dan menyesuaikan. Saat acara formal, saat memang etikanya menggunakan sepatu, ya aku akan menggunakan sepatu.
Tapi di luar itu, saat memungkinkan bersandal jepit, ya aku pilih sandal jepit, dong. Perjalanan jauh, aku sering memilih sandal jepit. Kalopun ngga memungkinkan memakai sandal jepit, setidaknya barang yang satu ini tidak pernah absen dari daftar barang bawaanku di tas.
Selain urusan pilihan pribadi, kini pun aku punya tujuan sendiri melanjutkan kebiasaan menggunakan sandal jepit. Bahwa di IPM, meski aku terkadang disebut pejabat, dalam keseharian aku tetap manusia biasa. Dengan kebiasaanku, yang mungkin buat banyak orang itu "ngga banget"
Tapi biar saja. Biar justru orang tau, kader-kader IPM tau, bahwa jadi Ketua PP IPM—yang mana berarti jadi jajaran ketua ormas tingkat pusat—ternyata ngga keren-keren amat, biasa aja. Tetap makan nasi, tetap jelek kalau tidur, tetap sambat dan misuh kalo ketemu masalah, dan tetap memakai sandal jepit. Yang lebih penting, menilai seseorang bukan karena jabatan dan penampilan. Tapi tentang apa yang kita lakukan.
Sandal jepit adalah langkah awal menegaskan bahwa PP IPM, lebih spesifik dalam diri Naban, bukanlah sosok wah yang harus sangat dihormati. Seperti sandal jepit yang akrab dengan semua orang, siap sedia di segala tempat, fleksibel, tetap asik walaupun diajak menerjang hujan, seperti itulah juga aku ingin memperkenalkan Naban ke orang banyak.
Apa sih. Malah sampe mana-mana bahasannya😂
Intinya, sandal jepit adalah bagian dari caraku untuk jadi berbeda dari orang kebanyakan. Jadi, ya, kalo ke mana-mana tanpa bawa sandal jepit kerasa ada yang kurang aja gitu, hehehe....
Tapi sendal jepit bisa dibawa mendaki bukit yang terjal ga kak? Wkwkwk
BalasHapusBisa dong. Dibawa ke jalan perjuangan dan asmara yang terjal juga bisa
HapusUdah makan belum ban?
BalasHapus