Januari lalu, saat menentukan tanggal Taruna Melati Utama (TMU) PP IPM di Lombok, aku cukup yakin akhir Maret kasus Covid-19 sudah mereda dan TMU bisa digelar secara offline. Benar saja, perhelatan MotoGP Mandalika sepekan sebelum TMU dapat terlaksana tanpa lonjakan kasus berarti. Peserta dan segenap panitia TMU juga sehat-sehat saja sekembali dari Lombok. Juga bonus aturan yang lebih longgar dari Pemerintah (sebelum kembali diperketat jelang mudik lebaran)
Padahal baru sebulan sebelumnya, sekitar Februari, beberapa agenda diwarnai penularan kasus Covid-19 yang cukup mengkhawatirkan.
Intuisi yang sama aku gunakan akhir April lalu kala mendapat kabar wisuda dilaksanakan 25 Mei 2022. Belum ada kepastian online atau offline, tapi aku cukup yakin pasti offline. Langsung saja aku sampaikan ke Bapak dan Ibu, bahwa aku minta Bapak dan Ibu ke Jogja wisudaku, terlepas dari apakah wisudanya akan online atau offline.
Kalau dipikir-pikir permintaan ini memang menghabiskan biaya banyak dan merepotkan Bapak-Ibu, tapi ngga papa deh sesekali merepotkan orang tua, hehehe. Terakhir kali aku punya permintaan seperti ini tahun 2016, enam tahun lalu, jelang kelulusan dari Mu'allimin.
Lalu waktu menjawab, intuisiku benar lagi, wisuda offline. Bapak-Ibu juga dipastikan datang ke Jogja.
Fast Forward...
Di tulisan sebelum ini, aku sebut bahwa aku terlampau ngga peduli dengan urusan diri sendiri. Wisuda ini jadi satu lagi contoh nyata. Bahkan di momen sepenting ini masih tetap bodo amat.
Sampai H-24 jam wisuda, aku belum tahu mau makan-makan di mana, aku belum tahu urutan agenda wisuda apa saja, dan belum ambil pinjaman toga. Untuk urusan ini aku dibantu dan diingatkan berulang oleh Fanin. Dia bantu nge-booking Bale Bebakaran, menyusun jadwal, sampai mengingatkan daftar TPA untuk persyaratan S2. Fanin juga banyak dikontak teman-teman yang mau datang ke wisudaku.
Selanjutnya, aku juga belum memastikan fotografer wisuda. Baru sempat menyebut beberapa pekan sebelumnya, tapi ngga sampai nge-follow up lebih lanjut. Untuk perkara ini, terima kasih kepada Dhafin yang bersedia jadi fotografer setengah hari penuh. Padahal baru konfirmasi 100% malam hari tanggal 24 Juni. Pagi-pagi tanggal 25 Dhafin bahkan harus sewa alat lebih dahulu baru kemudian ke UGM.
Bagian paling parah adalah aku baru sadar bahwa aku sama sekali ngga tahu orang wisuda itu seperti apa dresscode-nya. Buat seorang Nabhan yang ke mana-mana terbiasa sandal jepitan, dan kaosnya kebanyakan pemberian/kaos acara tertentu, urusan ini sama sekali ngga terpikir. Untung ada Bela yang pernah wisuda offline di tahun 2020 dan bantu nanya-nanya ke temannya.
Persoalan selanjutnya, aku ngga punya pakaian-pakaian formal. Dasi hitam ngga punya, kemeja putih kekecilan dan banyak noda, celana kain terakhir kali muat dipakai tahun 2019 saat berat badanku masih 65-70kg, dan sepatu pantofel aku ngga punya. Terima kasih pada Anggitya yang setelah praktik di klinik bersedia bantuin beli baju, dasi, dan sepatu. Jadi muter-muter Maliboro dan sekitarnya dewean. Tapi ngga salah dah minta bantuan Anggit, pilihanmu cocok Nggit.
Untungnya, aku punya teman-teman yang mau membantu. Aku sadar mereka pasti sebal dengan kelakuanku, tapi tetap mau membantu sebaik-baiknya.
Terus selama seharian aku ngapain aja? Tanggal 24 pagi aku harus mengurus beberapa hal di kantor IBTimes. Lanjut siangnya ada gladi wisuda di GSP UGM. Sore tiba-tiba harus jemput Nahwan (adikku yang bungsu), karena kesulitan untuk perizinan di asrama dan harus dijemput. Kemudian bakda maghrib, Bapak dan Ibu datang dari Bandara, kami bertemu di rumah Om di Banguntapan, lalu malamnya di rumah Om ada pengajian. Nuha (adikku di anak nomor 3) merapat bakda isya. Di sela-sela pengajian, aku baru menyempatkan swab antigen bersama Bapak.
Suasana Hati Sehari Sebelum dan Saat Wisuda
Tanggal 24 malam, Bapak bertanya dua kali, "Aban kok kamu kayak kurang bahagia gitu, ada apa?". Aku jawab dengan sekenanya, tapi juga cukup meyakinkan, "Lagi banyak urusan, capek. Terus tiba-tiba Nahwan susah keluar asrama. Pas lagi gak leluasa juga ada kerjaan harus buka laptop, baru beres kegarap tengah malem deh. Baju baju buat wisuda juga kan baru agak malem tuh beresnya."
Padahal ya, memang aku sedang fucked up dan berhadapan dengan situasi yang lumayan bikin terpukul setelah sebuah pertemuan singkat tanggal 24 sore. Sampai-sampai aku khawatir saat wisuda bakal kepikiran banyak hal dan menghadapi hari dengan tidak baik-baik saja.
Tapi ternyata overall bisa lancar. Saat prosesi wisuda aku super gabut menunggu giliran maju yang lumayan lama, mau nyambi nonton WandaVision tapi sinyal ngga cukup oke. Baru deh, setelah prosesi perasaan mulai mendingan, melegakan, bahkan sangat membahagiakan.
Bisa ketemu Fakultas dan orang seisinya yang lama ngga ketemu, mulai dari teman satu jurusan, Bu Aini dari akademik yang sudah hapal banget denganku, sampai adik-adik di jurusan yang meminta aku mempersiapkan sambutan kecil. Untuk pertama kalinya juga Bapak, Ibu, Nuha, dan Nahwan tahu kampusku.
Walaupun super capek, tapi di sisi lain luar biasa senang dengan kehadiran, ucapan, dan bingkisan dari teman-teman di Fakultas, Balairung, Bale Bebakaran, sampai GOR Jambon di sore harinya. Selain itu, bonus bisa foto dengan Pak Andika Perkasa dan Pak Anies Baswedan juga cukup menyenangkan. Aku jadi bisa sedikit "nakal" di medsos, hehehe...
Foto dengan Pak Andika dan Pak Anies
Satu lagi fakta tentang aku yang pembaca sekalian perlu tahu. Aku antusias ketika ketemu public figure tertentu, tapi aku ngga terlalu suka foto-foto dengan mereka. Aku tipikal orang yang ngga bisa terlalu ngefans dan juga ga banyak ngefollow akun-akun official tokoh/klub/grup tertentu di medsos.
Contohnya, beberapa kali ketemu Presiden Jokowi tapi ngga pernah mendekati untuk minta foto. Beberapa bulan lalu, di backstage Zulhas Award aku hanya berjarak 3-4 meter dari Deni Cagur dan Desi Ratnasari, tapi juga malas buat foto-foto. Malah aku bantu ngefotoin salah satu peserta dengan dua artis-politisi nasional ini.
Begitu juga kemarin saat wisuda. Aku tahu ada Pak Andika Perkasa dan Pak Hendropriyono di GSP UGM, karena beliau berdua ada keluarga yang diwisuda. Tapi yaudah aja gitu. Ngga ada keinginan buat minta foto.
Lalu, setelah prosesi wisuda selesai aku sekeluarga menuju Fakultas. Ibu, Bapak, dan Nahwan naik mobil. Aku bersama Nuha jalan melalui perpustakaan UGM, ke Balairung, lalu menyeberangi Jalan Persatuan ke arah barat, menuju Fakultas Geografi.
Nah, saat berjalan di Balairung, ternyata rombongan Panglima TNI baru datang. Aku hanya lihat-lihat saja, tapi kemudian gerak-gerikku ketahuan oleh ajudan Panglima TNI. Aku kira mau dimarahi, ternyata ditawari untuk foto-foto. Ya sudah, aku minta foto-foto sambil sedikit basa-basi dengan Pak Andika yang memang sehari sebelumnya baru bertemu Pak Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Di situ, aku difotoin oleh Nuha.
Setelahnya, aku ke fakultas dahulu. Ikut agenda adik-adik yang mengarak para wisudawan, dadakan diminta sambutan kecil dengan adik-adik jurusan, lalu ke Balairung untuk foto keluarga. Kemudian, di Balairung setelah foto bareng keluarga aku mau langsung foto-foto dengan segenap teman yang sudah hadir dan menunggu.
Saat itu, ternyata ada Pak Anies Baswedan yang baru selesai silaturahmi dengan Rektor UGM, para wisudawan yang masih di sekitar Balairung pun spontan minta foto. Aku mengamati dulu sambil melihat momen paling tepat.
Barulah ketika semua sudah foto, aku minta foto berdua dengan Pak Anies, kebetulan Dhafin stand-by dan hasil fotonya keren pol! Kepada Pak Anies, aku sedikit berbasa-basi karena kemarin juga bertemu beliau di acara penganugerahan ZulHas Award.
(Setelah wisuda dan melihat kembali foto-foto dari Dhafin, aku agak menyesal, karena aku ngga minta foto dengan Rektor UGM Pak Panut, malah beliau ada di latar belakang fotoku bersama Pak Anies. Mohon maafkan mahasiswamu ini, Pak Rektor)
Pasca-wisuda dan Puasa Medsos
Bagi banyak orang, wisuda ngga penting-penting amat. Karena memang kelulusan sudah ditentukan saat ujian skripsi serta yudisium, dan wisuda sebatas seremoni kelulusan. Menurutku fine-fine saja dan aku respect. Sebenarnya tren ini juga pengin aku ikuti, tapi situasiku sedikit berbeda.
Aku seminar proposal online April 2020 di saat pandemi baru menyerang dan warga Indonesia sedang panik-paniknya. Lalu ujian skripsi (juga online) Februari 2022 di Lampung dengan terburu-buru, setelah ujian langsung terbang menuju Jogja dan malam harinya langsung ada rapat di Jogja. Baik sempro maupun ujian skripsi nyaris tanpa perayaan. Melengkapi 5,5 tahun++ kuliahku yang (menurutku) tanpa ingar-bingar dan tanpa cukup penghayatan--bahkan baru yakin bahwa diri ini adalah mahasiswa UGM itu enam bulan setelah kuliah.
Maka, buatku wisuda ini biarlah dirayakan dengan selayaknya dan sebaik-baiknya. Jadi momen buat Bapak dan Ibu bangga dengan anaknya yang bisa kuliah di UGM. Jadi momen kumpul-kumpul juga dengan teman-teman. Dan yang paling penting, jadi momenku bersyukur dan selebrasi setelah perjuangan empat tahun kuliah dan 25 bulan jatuh-bangun dari pembuatan proposal sampai lulus betulan.
Terima kasih bagi semua yang ikut merayakan. Baik itu hadir, berdonasi ke Merawat Papua, memberikan hadiah, ikut makan-makan atau badmintonan di sore hari, serta mengirimkan ucapan. Juga terima kasih untuk yang mengusahakan datang tapi gagal karena satu dan lain hal. Kebaikan sebanyak-banyaknya untuk kalian :)
Setelahnya, aku meniatkan untuk mulai puasa medsos dua hari setelah wisuda--begitu ingar-bingar ucapan wisuda selesai. Tapi ternyata, dua hari setelah wisuda, pukul 10.30 pagi begitu aku selesai Tes Potensi Akademik online, datang kabar Buya Syafii wafat. Sambil memberi waktu untuk berduka, aku mempersiapkan diri untuk menghilang dari medsos sekaligus perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Timur.
Kereta apiku melaju menuju Surabaya pukul empat pagi tanggal 28 Mei. Sesaat setelah mentari terbit, aku mengumumkan menghilang sejenak dari medsos sekaligus memulai perjalanan. Meresapi baik-baik ketakutan, kekecewaan, kemarahan, atau kelelahan setelah pertemuan sore hari tanggal 24 Mei. Juga mundur dan rehat sejenak untuk melaju lebih cepat, melompat lebih tinggi, dan menjadi lebih kuat.
Komentar
Posting Komentar