Apakah Generasi Z Lemah?
Jawaban sederhana dari pertanyaan ini adalah: enggak. Generasi Z nggak lemah. Melalui tulisan ini aku coba menjelaskan beberapa alasan, berdasarkan pengalaman pribadiku:
Persentase Penduduk Indonesia berdasar Sensus Penduduk 2020. Sumber: Katadata |
Pertama, Generasi Z hidup di era terbuka. Keterbukaan ini muncul dengan adanya internet yang dilanjutkan dengan media sosial. Melalui media sosial, berbagai pengetahuan baru dibagikan termasuk pengetahuan tentang kesehatan mental.
Pengetahuan tentang kesehatan mental membuat generasi Z lebih banyak mengunjungi tenaga profesional. Kunjungan ini menjadikan kasus-kasus terbuka, yang pada akhirnya meningkatkan angka kasus. Maka, ini justru kabar baik karena kualitas data lebih valid sekaligus orang-orang yang mengalami masalah kesehatan mental berupaya untuk berobat.
Selain di urusan kesehatan mental, keterbukaan informasi juga membuat kesadaran yang lebih baik di urusan ketenagakerjaan, lingkungan, hingga politik.
Kedua, Generasi Z itu fleksibel dan terdidik. Beberapa riset menunjukkan bahwa Generasi Z punya karakter yang fleksibel. Lagi-lagi fleksibilitas ini hadir karena perubahan cepat yang terus terjadi, khususnya di ranah teknologi informasi.
Tahun 2004, aku mengenal teknologi disket, penyimpanan berkapasitas 4 MB. Dua tahun kemudian aku mengenal flashdisk dengan kapasitas 128 MB. Tahun 2008 aku mengenal internet dan 2009 Facebook hadir. Tahun 2012 dunia bergeser ke Twitter. Selanjutnya, 2015 Instagram mencapai puncak popularitas. Tahun 2019 TikTok menjadi tren.
Perubahan-perubahan semacam ini dialami generasi Z, dan sejauh ini generasi Z dapat beradaptasi dengan baik. Contohnya, ketika saat ini generasi Z mempopulerkan TikTok, generasi sebelumnya baru mengenal Instagram atau bahkan masih asyik dengan Facebook dan Twitter.
Fleksibilitas ini dilengkapi dengan tingkat pendidikan yang makin membaik. Saat ini, sekitar 20% Generasi Z mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibanding total penduduk Indonesia yang mencapai pendidikan tinggi, yaitu kurang dari 10%.
Ketiga, ini adalah bias antar generasi. Labelling generasi Z sebagai generasi yang manja dan lemah hadir dari generasi yang lebih tua. Keluhan-keluhan generasi yang lebih tua kepada Generasi Z ini terjadi juga di generasi-generasi sebelumnya.
Pembaca sekalian tentu nggak asing dengan kata-kata senior, "Generasi kalian itu payah, dulu generasi kami mengalami penderitaan yang lebih parah." Ini adalah bias antar generasi yang selalu menganggap generasi lebih tua lebih baik dibanding generasi yang muda. Padahal, yang membedakan hanya soal usia saja.
Seringkali generasi yang lebih muda punya pencapaian lebih baik. Ini karena, pada dasarnya manusia adalah pembelajar dan menginginkan kemajuan. Hal ini didukung data bahwa kebutuhan dasar terkait pendidikan, ekonomi, dan kesehatan semakin membaik.
Aku pun memiliki berbagai pengalaman baik dengan teman-teman yang lebih muda di organisasi. Mereka biasanya lebih kreatif, lebih ekspresif, dan memiliki ide-ide baru yang menarik. Keluhan tentang loyalitas dan etos kerja juga nggak menjadi masalah ketika pendekatan yang dilakukan tepat dan saling menumbuhkan kepercayaan.
Keempat, cara yang keras bukan berarti kuat. Generasi sebelumnya biasa dengan cara-cara mendidik yang keras. Orang tua zaman dahulu menggunakan cara-cara fisik kepada anak-anaknya. Kekerasan verbal atau bahkan fisik sangat wajar dilakukan orang tua jaman dahulu.
Ternyata, cara yang keras ini bukan berarti menunjukkan kekuatan. Kekerasan nggak pernah menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah. Berbagai riset psikologi menunjukkan bahwa kekerasan justru memunculkan trauma bagi anak ketika mendewasa, dengan dampak-dampak yang buruk atau bahkan mengerikan di masa depan.
Kelima, generasi sebelumnya yang membuat Generasi Z seperti ini. Jika generasi Z dianggap manja dan lemah, harus diingat juga bahwa generasi Z adalah anak-anak orang tua mereka. Karakter generasi Z dipengaruhi oleh cara orang tua mendidik.
Ini bisa dipahami, sebab kebanyakan orang tua adalah Generasi X atau baby boomer. Mereka menjalani perjuangan berat di masa lalu yang penuh konflik dan kekurangan. Seiring berjalannya waktu, generasi orang tua dan pendahulu kita dapat meraih kesejahteraan yang lebih baik, sampai menjadi kelas menengah maupun kelas atas.
Karena perjuangan berat di masa lalu, mereka nggak ingin anak-anaknya mengalami kesengsaraan yang sama. Sehingga, anak-anak diberikan fasilitas yang membuat kehidupan menjadi serba mudah. Jadi, fenomena strawberry generation menurutku sangat dipengaruhi didikan orang tua yang ingin serba memudahkan dan melindungi anak-anaknya, tanpa memberikan ruang untuk berjuang dan berkreasi.
Komentar
Posting Komentar