Generational Gap di Isu Tambang (Khususnya Tambang untuk Ormas)

Beberapa hari belakangan, aku banyak berjumpa dengan perdebatan isu tambang untuk ormas. Khususnya di kalangan Muhammadiyah. Sudah cukup banyak pandangan dari sisi keagamaan, lingkungan, sampai kekaderan internal organisasi.

Jadi, aku dalam tulisan ini hanya memberikan pandangan ringan tentang generational gap. Perbedaan antargenerasi cukup terasa dalam perdebatan soal tambang, khususnya tambang untuk Ormas keagamaan. Meski begitu, ini merupakan analisis berdasarkan pengalaman pribadiku, perlu diuji da diteliti lebih lanjut apakah sesuai dengan realita.


Ilustrasi Lokasi Pertambangan Grasberg. Gambar: X.com/halimi1989

Jika diperhatikan, dalam berbagai kebijakan, nggak hanya tambang terdapat perbedaan. Salah satu contoh terkini adalah tambang. Generasi muda yang cenderung merasa cukup dengan hari ini memikirkan soal masa depan, maka lebih peduli dengan isu seperti kesehatan dan lingkungan. Hal ini membawa pemahaman yang lebih baik soal lingkungan, riset menunjukkan setidaknya 80% generasi Y dan Z peduli soal isu lingkungan. Disertai dengan semangat tinggi untuk kebijakan yang lebih progresif.

Generasi tua memikirkan soal kesejahteraan, pemerataan, dan harmoni. Maka isu yang banyak dibahas adalah bagaimana kesejahteraan, pemerataan, dan perhitungan politik. Meski nggak bisa merepresentasikan hal ini secara penuh, riset PPIM UIN Jakarta bulan Juli 2024 setidaknya menunjukkan bahwa masyarakat beragama secara umum memang nggak terlalu paham dengan isu lingkungan. Sehingga, dalam isu tambang, prinsip ekonomi lebih berpengaruh dan menjadikan pengambil kebijakan untuk tetap melakukan pertambangan.

Salah satu contoh perbedaan generasi tua dan muda ini diceritakan oleh Mas Brilliant, seorang mahasiswa Indonesia di Australia lewat akun X-nya. Dirinya menceritakan bagaimana ketika pandemi Ayahnya nggak cukup menerapkan protokol kesehatan. Sementara menurut sang Ayah, apa yang dilakukan oleh sang Ayah telah cukup aman dan memastikan kesehatan.

Utas X Mas Brilliant. Nggak aku tampilkan lebih lanjut karena akunnya dikunci.

Aku sendiri menemani Bapakku sebelum beliau menghadiri Konsolidasi Nasional Muhammadiyah. Bapak bilang menolak penawaran izin tambang dari Pemerintah untuk Muhammadiyah. Tapi penolakan ini bukan masalah lingkungan, kemampuan SDM, maupun ekonomi. Untuk ketiga hal tersebut Bapak percaya bahwa PP Muhammadiyah telah cukup memikirkan baik-baik.

Perhatikan dua contoh di atas baik-baik. Generasi tua yang menjadi penentu kebijakan nggak berpikir berdasarkan isu seperti halnya anak muda. Prinsipnya sama, dalam isu kesehatan ingin tetap sehat, dalam isu lingkungan ingin dampak lingkungan minimal. Tapi cara dan proses menentukan kebijakan antara generasi muda dan tua sangatlah berbeda.


Mengapa Generational Gap Terjadi?

Dugaanku, ini semua dipengaruhi dua hal: pendidikan dan tantangan kehidupan kedua generasi. Generasi Y dan Z merupakan generasi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Pendidikan yang baik membawa generasi Y dan Z lebih memahami isu dengan baik, khususnya dalam persoalan kesehatan dan lingkungan.

Soal tantangan kehidupan generasi tua dan muda juga sangat berbeda. Generasi tua di masa lalu berhadapan dengan berbagai konflik, ketidakmerataan, kecemburuan sosial, sampai krisis ekonomi dan kehidupan yang serba terbatas. Hal-hal semacam ini tentu nggak dialami oleh generasi muda sehingga generasi muda memiliki hidup yang lebih sejahtera dan damai, tanpa ancaman berarti. Maka generasi muda dapat memahami isu lebih dalam alih-alih memikirkan ekonomi, kesejahteraan, dan harmoni.

Kalau generational gap nggak dipahami dengan baik, generasi muda dan generasi tua akan terus berseteru. Misalnya, generasi muda heran sebab generasi tua tidak cinta lingkungan. Generasi tua heran sebab generasi muda nggak bisa memahami berbagai sudut pandang dalam memutuskan kebijakan. Dalam beberapa kasus, perseteruan yang terjadi cukup keras dan kadang memakan korban.

Tetapi apakah dalam sejarahnya berbagai kebijakan lahir dari pertentangan keras antar generasi? Enggak juga. Misalnya kebijakan kesehatan yang terbaru, di mana pemerintah membatasi pembelian rokok eceran. Ini hadir dari proses-proses tanpa pertentangan yang terlalu keras.

Satu lagi contoh kebijakan yang hadir tanpa pertentangan keras adalah Keluarga Berencana (KB). Kebijakan ini berlangsung sejak tahun 1980-an dan program KB di Indonesia dipuji di tingkat global.

Lalu apakah generasi muda hanya memikirkan masa depan, dan sebaliknya generasi tua hanya memikirkan ekonomi dan pemerataan? Bukan begitu maksudnya. Tetap ada keberpihakan untuk isu lingkungan pada generasi tua, meski nggak sebesar generasi muda. Sebaliknya, ada pertimbangan ekonomi, pemerataan, dan harmoni pada generasi muda, hanya saja nggak sebesar generasi tua.

Oleh sebab itu, dalam menilai isu yang kompleks semacam ini kita nggak bisa hanya berpandangan benar atau salah. Bisa jadi, kita berada di lingkungan yang abu-abu, bukan hitam putih. Keadaan "keduanya benar", "sebagian benar", atau "sebagian salah" lazim dijumpai dalam ranah yang abu-abu semacam ini.

Apapun yang terjadi, dan di manapun teman-teman berpihak, semoga ada titik temu yang dapat mengakomodasi dua kutub kepentingan ini sebaik-baiknya. Karena Bumi, alam, dan peradaban di dalamnya adalah milik kira bersama dan perlu dikelola sebaik-baiknya.

Komentar

Postingan Populer