Ketika Dunia Tidak Bekerja Sesuai Harapanmu

Ketika pertama kali merantau, aku sebatas menikmati hidup. Tetapi ketika sampai di kelas 9 aku merasa duniaku datar-datar saja. Nggak pernah lomba, nggak pernah punya pencapaian yang signifikan, bingung juga apa cita-cita dan tujuan hidupku sebenarnya.

Perenungan mendalam ini membawaku untuk pertama kalinya membuat blog. Selain itu membawaku untuk mendorong diri sendiri lebih aktif lagi. Termasuk aktif dalam mengambil berbagai risiko.

Ini terus berlangsung hingga Aliyah bahkan setelah lulus dan sampai sekarang. Salah satu risiko terbesar yang pernah kuambil ketika Aliyah adalah berangkat ke Surabaya sendirian untuk pertama kalinya. Saat itu bolos dua hari. Lalu di perjalanan laptop milik teman yang aku bawa hilang diambil orang dalam perjalanan di bus.

Di PP IPM, salah satu risiko terbesarku adalah ketika dalam perjalanan dari Aceh Singkil, Aceh ke Jayapura, Papua untuk mengisi Pelatihan Taruna Melati III di kedua provinsi. Saat itu, Desember 2022 nggak banyak pilihan transportasi tersedia ditambah keterbatasan dana. Selain itu, waktu yang tersedia juga sangat mepet.

Aku harus menempuh jarak lebih dari 7.000 km dengan travel, ojek, KA Bandara, sampai 3 kali berganti pesawat. Dalam prosesnya, ada cuaca buruk dan pembatalan tiket. Untungnya semua berhasil aku lalui dengan cukup baik. Mengiris Sumatra dari barat ke timur, terbang ke Jakarta, ribet karena pembatalan pesawat, lanjut ke Makassar, sampai ke Jayapura.

Mulai Mengambil Risiko

Semua pilihanku mengambil risiko dimulai dari hari-hariku saat Aliyah yang kuisi berbagai kegiatan. Nyambi urusan akademik dengan lomba dan juga kegiatan IPM. Meskipun sibuk, aku merasa cukup aman karena aku nggak pernah keluar dari 10 besar peringkat kelas. Bahkan di kelas 12 aku sempat mendapatkan potongan biaya sekolah selama 3 bulan hasil dari rentetan prestasi non-akademik serta keaktifan organisasi.

Tetapi kisah keaktifanku ini nggak melulu soal keberhasilan. Banyak gagalnya juga. Dimulai dari nggak jadi Ketua Umum (Ketum) PR IPM di sekolah. Lanjut dengan nggak terpilih jadi Ketua Umum PW IPM. Lanjut lagi dengan setengah keberhasilan dalam kontestasi PP IPM, menang di Muktamar-MLB, tapi nggak jadi Ketum. Ini belum menghitung kegagalan dalam lomba, dan kegagalan dalam berbagai hal.

Alasanku mau berkontestasi menjadi Ketum sebenarnya bukan untuk kebanggaan. Juga bukan untuk jabatan. Tapi alasanku sederhana: bisa dibilang Ketum adalah pemimpin yang punya pengabdian dan pengaruh paling baik.

Proses aktif dalam pengabdian dan peran di organisasi yang aku inginkan. Sejak ranting aku mau jadi orang terdepan dan paling aktif, ketika pada akhirnya nggak jadi Ketum juga nggak masalah. Komitmen dan keaktifanku nggak akan berkurang.

Rentetan kegagalan di usia 15-25 tentu cukup memukulku. Siapa, sih, yang mau gagal, kan?

Tapi pada akhirnya rentetan kegagalan mengajarkanku banyak hal. Terutama soal kekecewaan.

Belajar Kecewa

Di usia 10-15 tahun rasa-rasanya aku nggak mengenal yang namanya kecewa. Saat SD selalu ranking 1, paling rendah ranking 3. Ketika SD aku bergelimang prestasi, sampai nyaris nggak pernah bayar SPP karena banyaknya prestasi. Saat masuk MTs, sekali coba lalu diterima. Ketika mengikuti berbagai seleksi pun prosesku lancar-lancar saja. Aku pun merasa hidupku mulus sekali dan nyaris nggak pernah ada kekecewaan yang signifikan.

Itu terjadi karena aku nggak mengambil risiko. Beda ceritanya di usia 15-25 tahun. Aku berkali-kali jatuh karena mengambil banyak risiko.

Dengan mengambil risiko, aku mencoba dan mengalami banyak hal, khususnya kegagalan dan kecewa. Mulai dari patah hati. Kehilangan teman karena berbagai hal. Sampai menjumpai kegagalan dalam organisasi, perlombaan, maupun kehidupan secara umum.

Dari situ aku banyak belajar bahwa dunia nggak bergerak sesuai kemauan kita. Dunia juga nggak menyediakan jawaban atas kegagalan kita. Sederhananya: dunia nggak berporos pada kita. Dunia nggak bergerak sesuai bathuk-mu, fren.

Maka gagal dan kecewa pasti terjadi. Dan itu wajar. Itulah manusia, lebih-lebih orang dewasa, akrab dengan yang namanya kecewa. Syukur-syukur kalau kita bisa sekalian belajar.

Dari patah hati, aku belajar untuk mengenal-pahami berbagai standar sosial yang sebelumnya aku nggak paham. Aku juga belajar berinteraksi dengan perempuan, yang nyaris nggak pernah aku pelajari selama belasan tahun aku hidup. Yang paling menarik, aku belajar mengenali diri sendiri, yang sebelumnya aku kira sudah cukup paham ternyata enggak juga.

Dari kehilangan teman, aku jadi belajar untuk menjaga apa yang aku punya. Aku nggak mau kehilangan orang-orang baik di sekitarku, makanya aku berusaha menjaga mereka sebaik-baiknya. Dari kehilangan tersebut aku juga belajar untuk berubah, karena ada bagian dari diriku yang perlu diperbaiki agar orang sudi berteman denganku.

Dari kegagalan di berbagai lomba aku belajar untuk punya kemampuan yang lebih baik lagi. Dari kegagalan di organisasi aku belajar untuk meluruskan niat, menegaskan kembali apa sebenarnya tujuan dan komitmenku dalam berorganisasi. Dari kegagalan demi kegagalan aku belajar bahwa kekecewaan bukan sesuatu yang bisa diberitahukan sebelumnya.

Orang paling kuat seperti Julius Caesar, Genghis Khan, dan Gadjah Mada saja bisa kecewa. Hitler dan Nazi bisa kalah. Uni Soviet bisa runtuh. Apalagi aku, yang hanya pemuda biasa di satu sudut sempit, pada dunia yang luas dan sangat rumit.

Maka, merasakan gagal dan kecewa menurutku adalah berproses menjadi manusia. Berproses untuk memahami bahwa dalam banyak kesempatan dunia bekerja nggak mengikuti maunya kita. Berproses untuk menemukan jawaban dari pertanyaan kita, seringkali hanya waktu yang bisa menjawab.

Kecewa, Keburukan atau Rahmat?

Yang perlu kita lakukan adalah menerima dan belajar. Menerima bahwa kecewa bisa jadi keburukan, bisa jadi rahmat. Bisa jadi keburukan ketika kita terlalu lama berkubang dalam kekecewaan. Bisa jadi rahmat ketika kita mau belajar, dan di masa depan kita petik keberhasilan ketika kita menjadikan kegagalan sebagai pembelajaran. Kita bisa memetik keberhasilan ketika menjadikan kegagalan untuk bekerja sama dengan lebih baik bersama beberapa orang.

Dalam menghadapi berbagai kegagalan ini, aku pribadi terinspirasi dari Pak Anies Baswedan. Dalam sebuah video beliau pernah bilang bahwa anak muda, harus menghabiskan "jatah kegagalan". Ketika jatahnya habis, akan muncul keberhasilan-keberhasilan. Maka, jatah kegagalan dan kekecewaan ini harus dihabiskan di usia semuda mungkin.

Telan dan terima kegagalan tersebut sebagai bagian dari cara dunia bekerja.


Aku juga sepakat dengan lagu Stronger yang dinyanyikan oleh Kelly Clarkson, What doesn't kill you makes you stronger. What doesn't kill you makes you fighter. Benar saja, aku merasa lebih kuat dan punya jiwa petarung karena kegagalan dan kekecewaan di masa lalu. Tentu dengan syarat bahwa kita tahu batas-batas diri kita menyerap dan mengalami kegagalan.

Saat ini, aku sudah hidup dengan penuh risiko setidaknya selama 10 tahun terakhir. Setelah pembelajaran panjang ini aku mulai perlu memetakan risiko, dengan membangun rencana yang lebih baik, memitigasi apa saja yang mungkin muncul.

Setelah ini, tentunya aku tetap akan mengambil risiko, tapi aku juga belajar untuk membuat perhitungan yang lebih matang dan berorientasi jangka panjang. Sambil berdamai dengan cara dunia bekerja, yang sering kali memerlukan adaptasi dalam diri kita.

Kita hanyalah makhluk kecil, lebih kecil dari debu jika dibandingkan dengan Semesta yang Maha Besar. Maka melawan dunia tanpa peduli dengan bagaimana cara dunia bekerja bukan cara yang tepat untuk hidup dan menjalani kehidupan kita.

Komentar

Postingan Populer