Rumah yang Nggak Menarik
Dua pekan belakangan aku sedang banyak ditanya, dari mana asalku karena bertemu dengan rekan-rekan serta alumni AIMEP. Aku selalu jawab, "Saya aslinya Lampung, tapi sudah 14 tahun tinggal di Jogja." Jawaban semacam ini membuat seorang sahabat kesal denganku, karena seperti nggak punya identitas yang jelas; orang Lampung atau orang Jogja?
Tapi, mau bagaimana lagi, aku memang dibesarkan di Lampung. Meski aku nggak menguasai jalanan Lampung sebaik Jogja, banyak jejak-jejakku hari ini yang dipengaruhi masa kecilku di Lampung. Lewat cerita pendek ini, aku berusaha menuangkan salah satu mozaik masa kecilku.
Sejak aku kecil, aku tinggal di sebuah rumah di Natar, kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan yang berbatasan dengan Kota Bandar Lampung. Rumah yang nggak menarik ini ini dibeli oleh kedua orang tuaku dengan harga nggak lebih dari 70 juta rupiah. Meski rumah ini nggak menarik, tapi cara membelinya unik.
Sekitar tahun 1997, bapak dan ibuku pindah dari Kota Metro. Mengontrak di rumah ini. Bapak dan Ibu pindah karena saat itu diterima kerja, Ibu sebagai PNS Guru Agama "Inpres". Bapak menjadi PNS Dosen IAIN Lampung.
Di awal mengontrak, bapak dan ibu tinggal bersama anak dari pemilik yang lama. Jadi secara teknis keluarga kecil kami saat itu hanya berhak menempati sebagian kamar saja. Saat memoriku mulai bekerja sekitar tahun 2002 dan setelahnya, seingatku rumah ini baru terbayar lunas oleh kedua orang tuaku. Saat itulah anak dari pemilik rumah tidak lagi tinggal bersama kami dan kedua orang tuaku mulai memikirkan soal renovasi rumah.
Selebihnya, rumahku sama sekali nggak menarik. Selain bidang tanah yang nggak simetris, rumah ini terlalu sederhana, mojok di ujung gang, dan rapuh. Para tamu yang datang, selalu bilang bahwa rumah ini kelewat sederhana. Sepertinya mereka membandingkan dengan profesi bapak dan ibuku sebagai PNS, yang mestinya mampu untuk punya rumah lebih layak.
Entah dengan sadar atau nggak sadar, bapak dan ibuku juga setuju dengan ungkapan ini. Karenanya setelah lebih dari 20 tahun tinggal di rumah sederhana ini, bapak dan ibu memutuskan pindah rumah di tahun 2020. Rumah yang lebih layak di bibir gang, hanya 100 meter dari rumah lama.
Sejak aku kecil, aku tinggal di sebuah rumah di Natar, kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan yang berbatasan dengan Kota Bandar Lampung. Rumah yang nggak menarik ini ini dibeli oleh kedua orang tuaku dengan harga nggak lebih dari 70 juta rupiah. Meski rumah ini nggak menarik, tapi cara membelinya unik.
Sekitar tahun 1997, bapak dan ibuku pindah dari Kota Metro. Mengontrak di rumah ini. Bapak dan Ibu pindah karena saat itu diterima kerja, Ibu sebagai PNS Guru Agama "Inpres". Bapak menjadi PNS Dosen IAIN Lampung.
Di awal mengontrak, bapak dan ibu tinggal bersama anak dari pemilik yang lama. Jadi secara teknis keluarga kecil kami saat itu hanya berhak menempati sebagian kamar saja. Saat memoriku mulai bekerja sekitar tahun 2002 dan setelahnya, seingatku rumah ini baru terbayar lunas oleh kedua orang tuaku. Saat itulah anak dari pemilik rumah tidak lagi tinggal bersama kami dan kedua orang tuaku mulai memikirkan soal renovasi rumah.
Tahun 2006, renovasi cukup besar dilakukan untuk membenahi rumah bagian belakang (ditandai dengan warna merah pada gambar di bawah). Menelan biaya nyaris 20 juta rupiah pada saat itu. Sebagai anak laki-laki yang senang memperhatikan bagaimana dunia bekerja, aku turut senang karena saat itu aku bisa bertanya berapa harga genting dan batu bata, berapa biaya tukang, bermain pasir, hingga membantu para tukang mengangkat tumpukan batu bata yang membuat otot lenganku cukup kuat sampai hari ini.
Selebihnya, rumahku sama sekali nggak menarik. Selain bidang tanah yang nggak simetris, rumah ini terlalu sederhana, mojok di ujung gang, dan rapuh. Para tamu yang datang, selalu bilang bahwa rumah ini kelewat sederhana. Sepertinya mereka membandingkan dengan profesi bapak dan ibuku sebagai PNS, yang mestinya mampu untuk punya rumah lebih layak.
Entah dengan sadar atau nggak sadar, bapak dan ibuku juga setuju dengan ungkapan ini. Karenanya setelah lebih dari 20 tahun tinggal di rumah sederhana ini, bapak dan ibu memutuskan pindah rumah di tahun 2020. Rumah yang lebih layak di bibir gang, hanya 100 meter dari rumah lama.
Kembali ke rumah lama, meski rumah ini sangat biasa, ada satu hal yang hampir nggak pernah gagal membuat para tamu yang datang terpesona. Bukan aksesoris, bukan interior yang mewah, melainkan lemari buku besar, berukuran lima kali dua meter dengan tiga tingkatan. Lemari ini penuh terisi buku, nyaris semuanya buku milik bapak.
Ketika masih kecil, aku selalu heran mengapa orang-orang kagum dengan lemari buku ini. Tapi seiring aku mendewasa, aku mulai paham arti di balik kekaguman orang-orang yang datang ke rumah terhadap lemari buku besar tersebut.
Pertama, lemari buku ini terlalu besar untuk rumah kami yang sederhana. Rumah tua, arsitektur seadanya, perabotan lapuk. Meja dan kursi tamu rumahku pun sangat kecil, sangat nggak layak untuk menyambut tamu bapak dan ibu yang terkadang nggak sembarangan.
Saking besarnya lemari buku ini, saat kami pindah ke rumah baru, lemari buku tetap dibiarkan di rumah belakang. Jika disatukan, buku-buku ini mungkin bernilai lebih dari 100 juta rupiah. Harta yang paling berharga mengingat betapa terseok-seoknya hidup Ibu dan Bapak ketika dahulu membeli buku satu demi satu.
Kedua, nggak semua orang cukup beruntung punya kebiasaan membaca buku. Setelah aku cukup besar, aku paham bahwa buku adalah sumber ilmu. Buku adalah pembawa keberuntungan, yang baru dirasakan dalam jangka panjang.
Bertemu banyak orang, bermimpi, berimajinasi adalah kemewahan dan keberuntungan yang dimiliki oleh pembaca buku. Ketiga hal ini sangat kecil tapi ternyata menjadi bekal luar biasa besar bagi tiap langkah dalam hidup. Bagi keluarga bapak-ibuku yang dalam urusan ekonomi benar-benar mulai dari nol, buku dan pendidikan adalah tiket untuk keberuntungan dan masa depan lebih baik.
Kedua, nggak semua orang cukup beruntung punya kebiasaan membaca buku. Setelah aku cukup besar, aku paham bahwa buku adalah sumber ilmu. Buku adalah pembawa keberuntungan, yang baru dirasakan dalam jangka panjang.
Bertemu banyak orang, bermimpi, berimajinasi adalah kemewahan dan keberuntungan yang dimiliki oleh pembaca buku. Ketiga hal ini sangat kecil tapi ternyata menjadi bekal luar biasa besar bagi tiap langkah dalam hidup. Bagi keluarga bapak-ibuku yang dalam urusan ekonomi benar-benar mulai dari nol, buku dan pendidikan adalah tiket untuk keberuntungan dan masa depan lebih baik.
Dari imajinasi masa kecil membayangkan berbagai tempat di Indonesia, kini aku sudah menjejakkan kaki di 23 provinsi se-Indonesia. Dari menghapalkan nama-nama negara beserta bendera dan ibukotanya, kini aku sudah mengunjungi setengah negara ASEAN hanya dalam dua tahun. Imajinasi pula-lah yang membuatku selalu penasaran sejak kecil. Banyak bertanya, banyak menemukan, dan banyak mengkreasi hal baru dari imajinasi-imajinasi kecilku.
Ketiga, buku-buku di lemari ini adalah perjalanan bapak (dan juga ibu, sebagian kecilnya). Buku-buku tersebut jadi saksi panjangnya perjalanan keluarga kami yang dahulu sempat hidup pas-pasan, bahkan bisa dibilang berada di di garis kemiskinan.
Bapak sekolah tinggi dengan susah-payah, baru benar-benar menikmati hasilnya beberapa tahun belakangan. Ibu menjadi support system bagi bapak, sekaligus sekolah sampai S2. Bergantian dengan Bapak ketika Bapak sudah menyelesaikan pendidikan doktoralnya.
Meski secara ekonomi sangat payah, tapi bapak dan ibu selalu menyisihkan uang membeli buku. Buku-buku tebal bahkan bisa lebih dari satu juta harganya, dan satu paket ensiklopedia bisa menyentuh 10 juta rupiah. Nominal yang sangat besar kala itu.
Dahulu kebiasaan membeli buku ini nggak masuk akal. Tapi sekarang aku paham bahwa buku adalah investasi yang paling berharga dari bapak dan ibu. Kalau ditanya saat ini dari mana aku bisa mulai meraih keberhasilan satu demi satu, jawabannya adalah karena aku beruntung. Aku beruntung karena kehidupan membawaku saat ini mampu menulis, dalam berbagai bentuk.
Lalu, mengapa aku bisa menulis dan senang menulis? Jelas karena aku senang membaca. Mengapa aku senang membaca? Karena sejak kecil selalu berteman dengan buku. Maka satu hal yang membuatku sangat berterima kasih kepada orang tuaku adalah soal kecintaanku terhadap buku.
Bagiku, buku adalah kemewahan kecil yang aku dapatkan dan nggak pernah hilang. Rumah kami pernah beberapa kali kehilangan, seperti beberapa barang dan sepeda motor. Tapi nggak sekalipun para maling tersebut mengambil buku, harta yang paling berharga di rumahku.
Harta ini menjadi sangat bernilai bagiku, sebagai orang yang bertahan hidup dan meraih keberhasilan-keberhasilan kecil. Tentu banyak hal baik dan buruk di keluargaku, tapi buku membuatku tahu arah yang mestinya aku tuju.
Buku pun menjadi berkah sendiri bagi rumahku yang nggak menarik dilihat, tapi memiliki kelebihan yang luar biasa. Begitu pula dengan perjalanan hidup para penghuninya. Kisah sederhana bisa aku mulai dari diriku sendiri.
Ketiga, buku-buku di lemari ini adalah perjalanan bapak (dan juga ibu, sebagian kecilnya). Buku-buku tersebut jadi saksi panjangnya perjalanan keluarga kami yang dahulu sempat hidup pas-pasan, bahkan bisa dibilang berada di di garis kemiskinan.
Bapak sekolah tinggi dengan susah-payah, baru benar-benar menikmati hasilnya beberapa tahun belakangan. Ibu menjadi support system bagi bapak, sekaligus sekolah sampai S2. Bergantian dengan Bapak ketika Bapak sudah menyelesaikan pendidikan doktoralnya.
Meski secara ekonomi sangat payah, tapi bapak dan ibu selalu menyisihkan uang membeli buku. Buku-buku tebal bahkan bisa lebih dari satu juta harganya, dan satu paket ensiklopedia bisa menyentuh 10 juta rupiah. Nominal yang sangat besar kala itu.
Dahulu kebiasaan membeli buku ini nggak masuk akal. Tapi sekarang aku paham bahwa buku adalah investasi yang paling berharga dari bapak dan ibu. Kalau ditanya saat ini dari mana aku bisa mulai meraih keberhasilan satu demi satu, jawabannya adalah karena aku beruntung. Aku beruntung karena kehidupan membawaku saat ini mampu menulis, dalam berbagai bentuk.
Lalu, mengapa aku bisa menulis dan senang menulis? Jelas karena aku senang membaca. Mengapa aku senang membaca? Karena sejak kecil selalu berteman dengan buku. Maka satu hal yang membuatku sangat berterima kasih kepada orang tuaku adalah soal kecintaanku terhadap buku.
Bagiku, buku adalah kemewahan kecil yang aku dapatkan dan nggak pernah hilang. Rumah kami pernah beberapa kali kehilangan, seperti beberapa barang dan sepeda motor. Tapi nggak sekalipun para maling tersebut mengambil buku, harta yang paling berharga di rumahku.
Harta ini menjadi sangat bernilai bagiku, sebagai orang yang bertahan hidup dan meraih keberhasilan-keberhasilan kecil. Tentu banyak hal baik dan buruk di keluargaku, tapi buku membuatku tahu arah yang mestinya aku tuju.
Buku pun menjadi berkah sendiri bagi rumahku yang nggak menarik dilihat, tapi memiliki kelebihan yang luar biasa. Begitu pula dengan perjalanan hidup para penghuninya. Kisah sederhana bisa aku mulai dari diriku sendiri.
Soal banyak membaca, ternyata hal ini membantuku beruntung sampai mendapat beberapa prestasi. Salah satu yang paling aku ingat adalah cerdas cermat agama tingkat kecamatan saat aku duduk di bangku kelas 5 SD. Partner lombaku, namanya Amri, beberapa hari lalu membuat Instastory yang intinya dia memperhatikan kebiasaanku membaca, penyebab pengetahuanku menjadi lebih banyak, lebih tangkas dalam lomba cerdas cermat, juga selalu ranking 1 di kelas. (Maaf kamu jadi harus puas bertahun-tahun jadi ranking 2, Am, hehehe)
Ketika MTs, aku selalu menjadi kuda hitam dalam lomba cerdas cermat olahraga. Menyabet juara meski bersaing dengan kakak-kakak MA di pondok. Penyebabnya sederhana: nyaris setiap hari aku membaca koran, dilengkapi dengan dua pekan sekali membeli tabloid Bola serta Soccer. Saat MTs pula aku baru sadar memiliki kecepatan membaca memindai yang tergolong tinggi. Karena memang masa kecilku terbiasa "lomba" membaca Majalah Bobo dengan Mbak Nadiya. Aku bersyukur punya kemampuan ini, karena dengan uang jajan yang terbatas aku harus meminjam novel temanku dan menyelesaikannya dalam hitungan jam saat teman-teman sekamar terlelap.
Berlanjut di bangku MA, aku mulai membiasakan menulis hingga saat ini. Semua skill-ku hadir berkat kemampuan menulis, yang muncul karena terbiasa membaca bertahun-tahun. Hingga bangku kuliah dan mulai kerja, pun apa yang aku lakukan seputar menulis. Mulai dari menulis buku, berita, artikel, caption, sampai rencana konten, motivation letter untuk exchange, proposal, serta laporan.
Kisah kecilku ini berawal dari rumah yang nggak menarik. Dengan sedikit harta-benda, tapi banyak buku, juga seringkali berantakan karena terlalu banyak buku di rumah lama kami. Sama sekali nggak menarik, tapi justru itulah yang membuat rumah lama keluarga kami ini spesial.
Komentar
Posting Komentar