Kenapa Harus Punya Paspor?
Sekitar satu dekade lalu ketika aku sedang senang-senangnya baca koran di sekolah, aku membaca berbagai berita tentang ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN; MEA) yang diterapkan tahun 2015. Inti dari MEA adalah negara-negara Asia Tenggara terhubung menjadi satu komunitas ekonomi. Aku nggak tahu banyak apa dampaknya secara langsung, tapi yang aku tahu saat itu MEA jadi peluang baru untuk semua warga ASEAN, nggak terkecuali kita sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Seiring berjalannya waktu, aku jadi paham bahwa MEA menjadikan masayarakat ASEAN terhubung secara sosial maupun ekonomi. Salah satu kebijakan seputar MEA yang terasa kecil tapi penting dan dirasakan setiap warga ASEAN adalah paspor. Beberapa tahun setelah penerapan MEA, ASEAN secara utuh menjadi wilayah bebas visa, cukup dengan paspor.
Bagi teman-teman yang belum familiar dengan visa dan paspor perlu memahami perbedaan kedua dokumen. Paspor adalah identitas internasional (seperti KTP yang berlaku secara global). Sementara visa adalah izin masuk yang dikeluarkan sebuah negara bagi pemegang paspor negara-negara tertentu, untuk tujuan tertentu.
Tetapi, di ASEAN
berlaku kebijakan bebas visa 14-30 hari. Itu berarti setiap warga negara
anggota ASEAN bebas bergerak tanpa visa di dalam negara ASEAN lainnya selama
14-30 hari, tergantung kebijakan setiap negara. Dengan demikian, paspor menjadi
satu-satunya dokumen yang dibutuhkan kalau kita mau masuk ke negara lain di
ASEAN.
Maka memiliki
paspor saat ini sangat penting, tapi belum setiap orang menyadarinya. Biasanya,
sih, hanya warga di sekitar Batam yang terbiasa memiliki paspor sejak dini
karena Singapura hanya satu jam penyeberangan menggunakan kapal. Tapi bagi orang-orang
di luar Batam, biasanya hanya membuat paspor menjelang keberangkatan haji atau
umroh.
Padahal paspor
saat ini harus diperlakukan seperti KTP, identitas diri yang semakin cepat kita
punya, semakin bagus. Terlepas dari apakah berencana segera pergi ke luar
negeri atau enggak. Lalu, apa saja alasan kita harus memiliki paspor?
Pergi ke Luar Negeri Makin Murah
Beberapa waktu
lalu aku berbincang dengan teman yang bekerja di bisnis tour dan travel. Dalam obrolan
tersebut kami mencoba membandingkan biaya wisata dari Jabodetabek ke beberapa
kota di Indonesia. Salah satu destinasi populer tentu saja Bali.
Saat ini, Bali makin
banyak dikunjungi orang-orang se-Indonesia. Keluhan macetnya daerah Kota
Denpasar, Canggu, sampai Seminyak jadi salah satu bukti. Toko oleh-oleh juga
makin menjamur di Bali. Bukan hanya turis domestik, wisatawan mancanegara juga mengunjungi
Bali.
Tapi setelah membandingkan
biaya liburan ke Bali dari Jabodetabek, ternyata mirip-mirip dengan liburan ke
Malaysia atau Singapura. Artinya, kalau kamu tinggal di Pulau Jawa bagian
tengah hingga barat, atau di pulau-pulau besar Indonesia selain Jawa-Bali dan
kamu mampu liburan ke Bali, itu berarti kamu punya uang yang cukup untuk
liburan ke luar negeri.
Tapi ada satu
yang harus dimiliki oleh WNI untuk bisa pergi ke luar negeri: paspor. Paspor ini
identitas yang sangat penting, menjadi prioritas yang lebih penting dari uang
banyak ketika mau berkunjung ke luar negeri. Itulah mengapa pergi ke luar
negeri seolah masih jadi barang mewah walaupun biayanya nggak semahal di masa
lampau: karena baru sedikit orang punya paspor.
Jadi, untuk merasakan
pengalaman baru menjelajah berbagai negara dengan lebih mudah dan murah, kita
perlu punya paspor. Entah untuk tujuan main, belajar, sampai bekerja ke luar
negeri mutlak memerlukan paspor.
Menjelajah Negeri Lain Membuka Mata Kita
Kesempatan pertamaku
untuk pergi ke luar negeri adalah ke Amerika Serikat tahun 2022, dengan transit
di Jepang dalam perjalanannya. Bagiku pengalaman pertama kali ke luar negeri di
usia 24 tahun ini terlambat. Tetapi ini wajar, karena aku hanya satu di antara 7-8
orang pemilik paspor di antara sekitar 40 orang keluarga besar dari bapak maupun
ibu.
Saat transit di
Jepang, sampai di Amerika Serikat, maupun mengunjungi negara-negara lain, aku mengalami
momen yang benar-benar membuka mataku. Pertama, bahwa dunia ini sangat
luas, tapi semuanya masih sama-sama manusia. Banyak orang-orang yang berbeda
denganku, banyak budaya yang beda dengan budayaku, tapi ternyata ke luar negeri
nggak semenakutkan itu karena kita masih sama-sama manusia. Aku yang harus menempuh
perjalanan 31 jam sendirian ternyata nggak menemui halangan berarti.
Apalagi aku terbiasa
menggunakan transportasi umum di Indonesia dan dalam area Jabodetabek. Kalau
sudah biasa dengan moda transportasi di Jakarta pasti dapat menyesuaikan dengan
negara manapun di ASEAN. Kuala Lumpur dan Bangkok misalnya, nggak sesulit Jakarta.
Singapura mungkin lebih rumit dari Jakarta tapi nggak butuh banyak penyesuaian
jika kita sudah terbiasa dengan transportasi umum di Jakarta. Begitu pula
dengan pengalamanku di Sydney dan Melbourne.
Kedua, negaraku banyak kurangnya, tapi itu juga
berlaku untuk negara lain. Pun juga sebaliknya, ada kelebihan-kelebihan negara
lain dibanding negara kita, tapi negara kita juga punya kelebihan, kok. Contohnya
di Indonesia kita sekarang bisa membayar QRIS di banyak tempat, bahkan penjual
gorengan saat ini juga memakai QRIS. Di Amerika dan Jepang, kita harus membayar
menggunakan uang tunai atau kartu, opsi pembayaran lewat QR masih sangat
terbatas.
Alih-alih
membandingkan mana yang lebih buruk dan lebih baik, aku memilih untuk menikmati
perbedaan keadaan di Indonesia dan di luar negeri. Di Amerika Serikat aku
menikmati banyaknya pilihan barang dan makanan kemasan walaupun di sisi lain
sulit bertemu masjid. Di Bangkok aku senang dengan penginapan murah walaupun
pembayaran nontunai sangat terbatas. Di Australia aku menikmati bertemu kanguru
dan wombat meskipun menu sarapan di hotel itu-itu saja.
Ketiga, Indonesia punya budaya pergi antar
daerah, tapi masih sangat terbatas untuk pergi antarnegara. Mayoritas etnis di Indonesia
punya tradisi merantau, yang paling terkenal tentu saja Suku Minang. Lalu kita
juga punya kebiasaan berkunjung ke daerah lain untuk mudik, silaturahmi, maupun
sekadar liburan yang sangat umum dan dengan jarak ratusan hingga ribuan kilometer.
Bahkan jika ditinjau dari sejarah ratusan tahun lalu, orang-orang Makassar
bahkan telah berlayar ratusan mil hingga ke utara benua Australia pada tahun 1700-an
untuk berdagang.
Tapi kita belum
punya cukup keberanian untuk berkunjung ke negara lain meskipun jaraknya nggak
jauh-jauh amat dan biayanya nggak terlalu mahal. Lagi-lagi karena sebagian
besar WNI nggak punya paspor.
Kesempatan yang Lebih Banyak
Hari ini, dunia
semakin nggak ada batasnya. Terutama karena teknologi membuat batas-batas negara
semakin nggak terasa. Tetapi ternyata menjadi warga dunia nggak cukup hanya
dengan punya medsos dan berkomunikasi lewat internet. Kita juga perlu punya
paspor dan keberanian untuk pergi melintas batas-batas negara.
Bayangkan sebagai
mahasiswa misalnya, kalau sudah punya paspor kita akan mendapat peluang lebih
banyak soal kegiatan-kegiatan akademisi. Mulai dari konferensi, pertukaran
mahasiswa, penelitian, sampai lomba-lomba. Rencana untuk kuliah S2 atau S3 juga
nggak terbatas di dalam negeri kalau kita sudah memiliki paspor.
Demikian pula
sebagai calon tenaga kerja. Kalau kita sudah terbiasa bergaul antarnegara
mungkin pilihan kita bukan lagi jadi pekerja di SCBD atau jadi ASN kementerian,
melainkan bekerja di Singapura atau Australia. Pun demikian jika kita adalah pengusaha
tentu juga berusaha mencari pasar lain di negara-negara tetangga, nggak hanya
di Indonesia.
Tetapi sekali
lagi, karena nggak punya paspor, kesempatan yang lebih banyak nggak pernah kita
hitung sebagai kesempatan. Padahal bagi negara dengan penduduk terbanyak
keempat di dunia (dengan jumlah penduduk usia muda sangat banyak), kita punya kesempatan
besar untuk sekolah, bekerja, dan hidup di manapun di luar negara kita.
Itulah alasan
kenapa punya paspor penting, bahkan kalau kamu masih ragu untuk punya paspor,
paspor ini jadi doa bahwa kamu akan ke luar negeri cepat atau lambat. Aku termasuk
yang membuktikan kebenaran ungkapan ini. Aku membuat paspor di tahun 2020, satu
bulan sebelum pandemi. Rencananya sih menabung untuk mulai main ke luar negeri
di tahun 2020 atau 2021. Eh, ternyata di tahun 2022 aku justru mendapatkan
jalan ke luar negeri pertama kalinya—dan gratis.
Sekarang aku
nggak takut lagi mengunjungi negeri-negeri yang jauh, akan terus menambah
negara yang aku kunjungi, dan nggak menutup kemungkinan untuk sekolah atau
tinggal di luar negeri. Semua dimulai dari punya paspor terlebih dahulu.
Jadi, siap untuk menabung dan membuat paspor?
Komentar
Posting Komentar